Selasa, 31 Mei 2011

IKLAN

kami menerima pesanan parcel dalam rangka apapun^^
silahkan hubungi saya..

berikut contoh parcelnya :

parcel pindah tugas

Minggu, 29 Mei 2011

Elegi Siang tentang Malam oleh Kelompok 1 (Ayu Phurnamasari, Eka Asokawaty, ZakiyyahPutri) yang tergabung dalam SALJU GURUN

Muti belum pernah melihat tempat seindah ini. Danau besar dengan air yang tenang, dikelilingi jejeran pohon-pohon besar yang lebat oleh dedaunannya yang hijau. Kicau burung yg sangat jelas saling bersahutan, menambah kesan indahnya tempat ini.
Tapi..., kesan indah itu tak bertahan lama. Karena kemudian, Muti yang tengah duduk di atas perahu yang mengapung di atas danau bersama ketiga teman genknya dicekam oleh nuansa hening. Bukan hening yang damai, tapi hening yang mencekam. Angin yang tadinya terasa sejuk, kini terasa mematikan. Meremangkan bulu roma. Seperti ada banyak pasang mata tak ramah yang mengawasi mereka dengan seksama. Di tengah keheningan itu, hanya detak jantung mereka yang terdengar semakin kencang.
Angin yang cukup besar menghantam perahu kecil mereka, membuatnya agak oleng dan bergoyang-goyang. Spontan Muti, Karin, Aulia, dan Dinda terpekik kaget sambil memegang erat pinggiran perahu yang terbuat dari kayu itu.
Kembali hening yang mencekam. Dan pada saat itulah tiba-tiba hembusan angin membisikkan suara magis yang tak terlalu jelas di telinga Muti. Seperti ada sosok tansparan yang sejenak berbisik padanya. Tengkuk Muti dingin menegang, tanpa sadar Muti semakin keras mencengkeram tepian perahu. Tatapan matanya bersirobok dengan mata Aulia yang menyiratkan ketakutan. Sepertinya itu pula yang dilihat Aulia pada mata Muti.
Karin yang biasanya ceplas-ceplos kini cuma bisa terdiam dengan tubuh menegang. Sementara Dinda tampak mengejang dengan gigi yang bergemeletukan, namun berusaha melontarkan sepatah kata yang sepertinya sulit diucapkan oleh bibirnya, “A, aku… aku..takut…” Takut. Sepertinya baru kali ini mereka benar-benar memahami definisi dari kata itu.
Empat sekawan itu mengunci pandangan mata mereka, tak berani mengedarkannya ke rerimbunan pepohonan. Namun kemudian, di sisi kiri perahu, pada permukaan air danau yang tenang. Sebentuk bayangan perlahan tampak menjelma…sosok lelaki muda sepantaran mereka. Muti dan Aulia dengan sangat perlahan melirik sekilas ke dalam danau, dan lekas mata mereka terpaku pada sosok yang tampak tercermin dari dalam sana. Karin dan Dinda menyusul kemudian, melirik sosok di dalam danau itu. Tak ada teriakan, hanya mata mereka yang kian melebar menatap sosok itu.
Dari samar hingga jelas, lelaki dalam danau itu tersenyum. Senyum yang begitu mereka kenal. Senyum yang memacu degub jantung keempat gadis itu kian kencang. Lalu…, “Tolong…!” teriakan yang menyayat hati, menyentakkan ketakutan mereka ke level tertinggi.
***
"Hah....!!!" Muti terbangun dengan keringat yang mengucur. Dadanya turun naik tak beraturan. Nafasnya tersengal-sengal.
Tangan Muti erat mencengkeram seprai. Matanya kini mengedari seluruh ruangan. Ruangan kamarnya. Ini bukan lagi pemandangan di sekitar danau tadi. Syukurlah...ternyata cuma mimpi, begitu Muti berujar dalam hati. Perlahan nafasnya pun kembali dalam ritme yang teratur.
Bunyi ringtone handphonenya membuat Muti kembali terkaget, tapi lekas menguasai diri. Sebelum mengangkat panggilan teleponnya, Muti melirik jam weker di atas nakas, jarum jamnya masih menunjukkan pukul tiga dini hari. Siapa, sih, yang iseng nelepon sepagi ini? Muti bergumam heran dalam hati.
"Muti..., ini aku…," bisik suara yang terdengar saat Muti menekan tombol jawab dan mendekatkan HP ke telinganya.
"Si-siapa..?" Ada getar dalam suara Muti.
“Aku… Ryo…” jawab suara lelaki di ujung sana, masih seperti berbisik. Muti merasakan jantungnya kembali berdegub kencang. Tangannya yang menempelkan HP ke telinga pun bergetar.
“Tolong, Muti… TOLONG….!!!” rintihan minta tolong yang segera berubah jadi lolongan dari ujung sana, serasa menyurutkan darah Muti. Tangannya yang memegang handphone melemas, turun ke samping badannya. Handphone yang kini tergeletak di atas kasur masih memperdengarkan bunyi ‘tut, tut…’, menandakan sambungan telepon yang sudah terputus. Sigap Muti meraih handphonenya dan membantingnya dengan kasar. Handphonenya menabrak tembok dan hancur saat terjatuh di atas lantai.
Muti kembali disergap rasa takut. Dan itu membuatnya kesal. Muti paling benci merasa takut. Ingatannya kembali pada insiden dua minggu yang lalu. Kecelakaan tragis yang merenggut nyawa Ryo. Ryo, cowok yang dianggap cupu oleh Muti, Karin, Aulia, dan Dinda yang menamakan genk mereka Dark Angel. Ryo adalah teman sekolah mereka yang seringkali menjadi objek kekesalan Dark Angel, terutama Muti.
"Nggak! Gue nggak salah apa-apa! Tewasnya Ryo itu murni kecelakaan. Dan itu sama sekali bukan salah gue!" Muti berusaha meyakinkan dirinya sendiri, tapi ia sendiri tidak yakin.
***
Ibu Dewi, guru bahasa Indonesia kelas X memasuki kelas X-B, kelas yang dihuni oleh Muti dan teman-teman genknya.
"Hadoh...males banget gue sama pelajaran bahasa Indo! Gak penting banget! Jelas-jelas kita udah lancar ngomong pake bahasa Indonesia, eh masih kudu diajarin lagi di sekolah!" gerutu Dinda yang duduk di belakang Muti.
"Gue sih bukan masalah sama pelajarannya, tapi gue nggak suka sama yang ngajarnya! Seneng banget ngasih tugas yang nggak penting!" sambung Aulia ketus.
Aulia duduk tepat di samping Dinda. Mereka satu meja. Sedangkan Karin duduk dengan Muti. Bagi empat sekawan itu, ada saja hal yang pantas untuk mereka tidak sukai.
"Udah, deh, kalian berdua nggak usah pada menggerutu kayak gitu. Kalo nggak suka, bilang aja langsung! Apa perlu tuh guru kita kerjain?!" canda Karin yang terkenal paling bermulut besar di antara mereka. Kontan saja Aulia dan Dinda tertawa cekikikan.
Tapi tidak dengan Muti. Sepertinya ia sedang tak berselera untuk menanggapi gurauan teman-temanya itu. Insiden mimpi buruk yang disusul panggilan telepon yang sukses membuatnya sport jantung sudah tentu menjadikan harinya ini terasa tidak senormal biasanya.
"Karin, Dinda, Aulia, kenapa kalian cekikikan seperti itu? Pelajaran belum dimulai, kalian sudah ancang-ancang untuk membuat keributan? Nggak bosen apa harus selalu ditegur?!" omel Bu Dewi yang agaknya sudah bosan dengan perilaku Dark Angel yang selalu kompak dalam membuat kesal orang lain itu.
"Ya makanya belum dimulai pelajarannya, Bu, kita masih berkicau!" sahut Karin dengan suara agak direndahkan. Tentu saja Bu Dewi tak mendengar gumaman Karin.
"Oke. Kali ini saya akan meminta kalian untuk membacakan puisi karya kalian sendiri. Karena pada pertemuan sebelumnya, saya sudah memberikan PR menulis puisi, kan? Nah, karena sepertinya tidak memungkinkan kalau kalian semua mendapat giliran membaca puisi. Jadi saya hanya memberikan kesempatan pada yang benar-benar bersedia untuk menyuguhkan penampilannya membaca puisi di depan kelas. Jadi, siapa yang bersedia?" tutur Bu Dewi membuka kelasnya pagi ini.
Bu Dewi mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas, dan menemukan seorang siswi yang mengacungkan tangannya tinggi-tinggi. “Ya, Jufrin. Silahkan maju ke depan!” Bu Dewi tersenyum santun sambil mempersilahkan seorang siswi yang sudah berani mengacungkan tangannya itu.
Jufrin dengan mantap melangkah ke depan kelas, berdiri menghadap teman-teman sekelasnya. Berhenti sejenak untuk melihat naskah puisinya, dan mulai membaca puisi dengan kemantapan dalam setiap pengucapan kata-katanya…
"Malam...
Izinkan aku berkata-kata
Tentang sepasang mata bintang
Yang membuat jantungku tertikam
Tentang indahnya senyum rembulan
Yang membuat hatiku tertawan
Tentang manisnya malam hari
Yang memaksaku mengecap pahitnya sepi
Izinkan aku mengungkapkan rasa
Semua rasa tentangmu, malam…
Kamu yang tak bisa kusentuh
Meski jiwaku harus terbunuh
Oleh ribuan sembilu...
Karena aku…
Siang yang merindu malam
Karena kamu…
Malam yang tak ingin ada siang...”
Senyap.... Tapi tak lama kemudian gemuruh tepuk tangan terdengar memenuhi kelas. Tak ada yang menyadari saat mata Jufrin bertemu dengan mata Muti. Mereka saling menatap. Jufrin dengan tatapan matanya yang tajam, menusuk hati Muti. Muti dengan tatapan penuh tanda tanya, seperti mencari-cari sesuatu dalam mata Jufrin.
“Malam…”
Tengkuk Muti dingin menegang, Muti tersentak. Kini ia mendengar dengan jelas bisikan sekilas dalam mimpi buruk yang membangunkannya dini hari tadi. “Malam..” Ya, itulah yang dibisikkan suara magis itu. Tanpa sadar Muti menahan nafas. Beberapa pasang mata tak ramah yang mengawasinya dari balik pepohonan yang rimbun di danau itu… Tiba-tiba menjelma jadi sepasang mata yang sama. Jantung Muti berdetak kencang.
Mata itu…mata penuh hiba itu.. Mata yang menjerit meminta pertolongan saat kecelakaan naas itu terjadi di depan matanya. Darah segar yang mengalir dari tubuh Ryo si Cupu yang terluka parah..
Tiba-tiba saja kepala Muti memberat, tengkuknya terasa dingin. Rasa mual menyerang ulu hatinya. Ia menyesal tidak sempat menyentuh sarapannya pagi tadi. Muti ambruk seketika.
***
“Kenapa, sih, keliatannya.. kamu… benci banget sama…aku, Mut?” tanya cowok cupu berkacamata minus yang berdiri sekitar satu setengah meter di hadapannya. Baru saja ia dan ketiga temannya menjadikan si Cupu, sebutan mereka untuk cowok itu, sebagai sasaran kekesalan mereka. Semangkuk kuah bakso dan segelas es teh sengaja ditumpahkan ke arah si Cupu. Seragam dan proposal kegiatan PenSi yang sudah disusun si Cupu hampir semingguan itu dan rencananya akan dibawa ke hadapan Pembina OSIS menjadi korban tumpahan itu.
“Hm… Kenapa…ya…? Mungkin karena tampang cupu lo yang bikin gue enek!” jawab Muti sadis.
“A-apa… apa..hubungannya, antara fisikku dengan kebencian kamu? R-r-rasanya, i-itu…te-ter-lalu..mengada-ada…” tanya si Cupu lagi.
“Heh! Untuk benci sama orang kayak elo itu nggak perlu pake alesan, tauk?!” Kali ini Aulia yang ambil suara untuk menghina.
“Tau! Udah cupu, gagap, suka senyam-senyum sendiri, masih juga PD jadi Ketua OSIS! Asal lo tau, ya, kalo elo nggak nekat nyalonin diri, udah dari awal Muti yang bakalan jadi Ketua OSIS! Bukan lo, autis!” Karin memuntahkan hinaannya.
“Oh…, jadi..cuma..ka-karena..itu..aja, Mut?” tanya si Cupu yang ditujukan langsung kepada Muti. Seolah tak menghiraukan tiga Dark Angle lainnya.
“Itu aja?! Heh, lo pikir enak apa dikalahin sama cowok cupu yang menang cuma karena belas kasian para guru dan murid-murid yang lain, hah?!” Dinda tak mau kalah sadis dari Dark Angel lainnya dalam menghina si Cupu.
“A-aku…aku..ikhlas, Mut, me-menyerahka-kan jabatan Ke-ketua OSIS sama ka-kamu. Ma-makanya, a-aku minta ka-kamu jadi wakil a-aku, dan…se-selalu dukung ide-ide k-kamu, Mut. K-k-karena…”
“Karena apa?! Udah, deh, nggak usah banyak omong! Pegel juga gitu loh dengerin lo ngomong!” sergah Karin ketus.
“Udah sana! Kita males liat wajah lo di sini!” usir Aulia, tak lupa melemparkan tatapan judesnya.
Si Cupu pergi berlalu meninggalkan areal kantin sekolah. Tanpa amarah, malahan senyum khasnya yang dianggap menambah keculunannya itu diberikannya khusus pada Muti. Padahal Muti menatapnya dengan tatapan jijik yang sadis. Kebencian telah merasuk jauh ke hati Muti pada si Cupu, lantaran jabatan yang sudah diidam-idamkannya malah diambil dengan begitu mudah oleh si Cupu. Sejak saat itu, kekesalan Muti dan the Dark Angel tak pernah sekalipun mereda.
Hingga kecelakaan tragis menimpa si Cupu. Di jalan raya sebuah mobil angkot yang melaju dengan ugal-ugalan menabrak motor yang tengah dikendarai si Cupu sore itu, sepulangnya dari sekolah. Sialnya, tak ada satupun polisi lalu lintas yang sedang berpatroli saat itu. Sedangkan kendaraan yang lalu lalang tak ada yang sudi menepi untuk memberikan pertolongan. Para pengemudi itu terlalu takut akan terlibat masalah kalau turun untuk membantu, bisa-bisa malah mereka yang akan jadi tersangka, mungkin begitu mereka pikir. Lantaran sopir angkot, si pelakunya, sudah kabur entah ke mana.
Tubuh lelaki belia yang baru saja memasuki usia 17 tahun itu tergeletak tak berdaya, di atas rumput yang hanya berjarak satu meter dari trotoar yang telah menghantam kepalanya yang kini mengucurkan darah. Darah yang juga mengalir dari hidung dan telinganya.
Belum, pemuda itu belum mati. Karena matanya tetap terbuka. Menatap jalanan, berharap seseorang yang masih punya secuil rasa peduli akan menolongnya, membawanya ke rumah sakit terdekat. Delapan pasang mata melihat insiden itu dari balik kaca Honda Jazz. Ada keterkejutan di mata mereka. Tapi sayang, tak ada rasa peduli yang cukup di hati mereka untuk memberikan pertolongan pada si korban tabrak lari. Maka tanpa ragu, tak lama kemudian si pengemudi menjalankan kembali Honda Jazznya, tanpa menoleh lagi. Cari selamat sendirilah, sekarang bukan waktunya jadi malaikat penolong, Dark Angle gitu loch, bukan White Angle! Begitu seloroh hatinya.
Tanpa disadari yang lain, salah satu pasang mata yang tadi ikut menyaksikan insiden itu dari dalam Honda Jazz yang diturunkan kacanya, lekat menatap mata si lelaki muda yang terbujur kaku tanpa daya itu. Mata itu seolah berteriak minta tolong. Mata itu… mata si Cupu yang jelas-jelas lekat menatap matanya, mata Muti. Ada gemuruh rasa yang mengaduk-aduk hati Muti. Ia sempat berpikir untuk turun dan memberikan pertolongan, tapi rasa takut bercampur benci di hatinya membuat ia mengurunkan niatnya itu.
Dan setelah itu, sepasang mata itu tak pernah mampu dilupakannya. Mata itu menghantui tidurnya. Dan tiba-tiba hari ini, mata itu kembali hadir menatapnya dari depan kelas. Sepasang mata milik Jufrin!
***
“Hah……..!” jerit Muti setelah siuman dari pingsannya.
“Lo kenapa, sih, Mut…?” tanya Dinda bingung campur khawatir.
“Huhuhu… hiks, hiks, hik…..” Muti malah nangis sesenggukan. “Harusnya…harusnya… huhuhu…!”
“Harusnya apa, Mut?!” Karin jadi panik melihat Muti menangis sambil menceracau seperti itu.
“Harusnya kita nolongin Ryo waktu itu, Karin…!” Muti histeris. “Kenapa kita bisa sejahat itu sama dia..? Kenapa gue bisa sebenci itu sama dia..?!”
“Muti! Sadar, Mut!” Aulia agak mengguncang-guncangkan bahu Muti yang mengejang hebat.
“Si Muti kerasukan setannya si Ryo kali, ya?!” ceplos Karin asal.
“Maksud lo?!” Aulia menatap kesal pada Karin yang seenaknya bicara.
“Mut, lo nggak lagi acting jadi drama queen, kan..?” tanya Dinda polos saking bingungnya melihat sikap Muti. Aulia mendelik heran pada Dinda.
“Dia datang ke mimpi gue… Dia minta tolong… Ryo nggak akan ngebiarin gue tenang mulai sekarang… Dia mau bales semua perbuatan gue yang sering semena-mena sama dia… Gue.. gue.. gue takut…” bisik Muti lemah, masih diiringi isak tangis.
Karin, Aulia, dan Dinda menatap Muti tak percaya, lalu saling melempar pandang tak mengerti. Tapi jauh di lubuk hati mereka, kata-kata Muti yang menyebut nama Ryo dan kecelakaan naas itu menyentakkan rasa bersalah dalam diri mereka. Rasa bersalah yang diam-diam tumbuh subur di sudut terdalam hati para Dark Angel.
Ruang UKS itu kini hening. Hanya isak tangis Muti yang terdengar. Selebihnya bisu.
***
Karin sedang mengemudikan Honda Jazznya, Di samping jok kemudi ada Muti yang masih tampak sayu. Di jok belakang ada Aulia dan Dinda yang sesekali mengobrol. Seperti biasanya, tape mobil selalu dinyalakan oleh Karin untuk menemaninya menyetir. Penyiar radio sedang mengudara.
“Hi, muda-mudi kota Tangerang dan.. sekitarnya… Apakah aktivitas kalian sore ini? Mungkin ada yang baru balik sekolah, kuliah, atau malah balik kerja? Yah, apapun itu aktivitas kalian saat ini, gue harap kalian menikmati siaran kita sore ini.
“Ok, untuk obrolan kita sore ini, gue pengen kita ngebahas soal… penyesalan apa, sih, yang paling bercokol di hati lo saat ini, guys? Yuk, share sama gue di sini, sob…! Kita tunggu partisipasinya di line telepon ya…!”
Terdengar suara dering telepon dari radio yang sedang on air itu.
“Wah, udah ada yang masuk aja..nih. Yowis, kita angkat…! Hallow…”
“Hallo, kak Iga… Aku…mau sharing tentang penyesalan terbesarku saat ini.”
“Silahkan, say… Oia, kasih tau dulu dong nama kamu…”
“Hm… namaku… Jufrin.”
Keempat gadis berseragam SMU itu langsung menoleh ke arah tape mobil yang tengah mereka naiki, seolah-olah mereka bisa melihat wajah si penelepon bernama Jufrin itu di sana. Mereka ingin memastikan apakah itu Jufrin teman sekelas mereka.
“Ok, seperti biasa, Jufrin, silahkan bercerita dan gue di sini nggak akan menginterupsi elo dengan pertanyaan-pertanyaan sebelum elo selesai cerita. So, silahkan, girl!”
“Aku menyesal… selama aku sekolah di SMU, aku belum pernah memperlihatkan keakrabanku dengan Ryo.” Dark Angle kembali dikagetkan oleh si penelepon bernama Jufrin itu. Kenapa harus nama Ryo yang disebut-sebut?
“Padahal kami satu sekolah. Sebenarnya, aku nggak punya masalah sama Ryo, tapi Ryo yang minta aku untuk nggak terlihat akrab dengannya saat di sekolah. Dia takut…aku malu sama temen-temen sekolah kalo terlihat deket sama dia. Padahal aku sama sekali nggak merasa malu. Entah kenapa Ryo bisa berpikir seperti itu.
“Mungkin, karena faktanya aku sekelas sama empat orang cewek yang namain diri mereka Dark Angle.”
Muti, Karin, Aulia, dan Dinda tambah heran. Wah, apa yang akan diceritakan si Jufrin, sih, sebenernya? Para Dark Angle itu bertanya-tanya dalam hati.
“Entah karena alasan apa, Dark Angle sangat membenci Ryo. Gak segan-segan mereka menunjukkan kebencian mereka sama Ryo. Padahal… padahal, Ryo punya rasa sayang yang besar banget sama salah satu dari mereka, namanya Muti.”
Muti kaget bukan kepalang namanya disebut. Karin, Aulia, dan Dinda serentak melirik ke arah Muti yang tampak diam terpaku dengan wajah pias. Muti was-was, sadar mimpi buruknya belum juga berakhir untuk hari ini.
“Buku hariannya penuh catatan tentang perasaannya pada Muti. Perasaan yang nggak pernah punya kesempatan untuk diungkapkan. Karena…, karena Ryo udah meninggal dua minggu yang lalu…” Isak tangis Jufrin pecah. Beberapa saat hanya ada hening yang ditingkahi isak tangis Jufrin dan iringan lagu instrumental sendu yang sengaja dijadikan backsound oleh si penyiar.
“Maka itu… sebelum aku dan Mama pindah keluar kota, rencananya malam ini kami akan berangkat, aku menyempatkan diri untuk tetap masuk sekolah. Aku memberanikan diri untuk membaca puisi di depan kelas. Salah satu puisi Ryo yang aku salin dari buku hariannya. Judulnya, Merindu Malam. Bagi Ryo, dia adalah siang yang merindukan malam. Mutilah malamnya.”
Muti menutup mulutnya dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya mencekal bagian seragam atasannya yang dekat dengan dada. Seolah ada nyeri yang terasa di sana, dan Muti mencoba menahan sakitnya.
“Rasa cinta Ryo pada Muti adalah surat cinta yang tak pernah sampai. Maka semampuku, aku ingin membantunya menyampaikan surat cintanya itu. Aku…, aku terlalu membenci Muti dan ketiga teman genknya itu untuk mampu menyampaikannya secara langsung, Kak… Aku nggak sanggup…” Jufrin menagis tanpa ragu. Sementara para Dark Angel tergugu dalam bisu yang sama sekali tak menyenangkan.
Honda Jazz Karin masih melaju meski dengan kecepatan minimum.
“Jufrin…? Kamu…sudah selesai?” tanya Iga, si penyiar.
“Maaf, kak Iga, sudah… begitu saja kisah yang ingin kubagi sebelum meninggalkan kota ini. Kota di mana Ryo, saudara kembarku itu… telah meninggal dua minggu yang lalu. Tanpa sempat aku menunjukkan pada semua teman-teman sekolahku, terutama pada Dark Angle, kalau aku tidak malu punya saudara kembar seperti Ryo. Meski gagap dan autis, dia mampu menyamai orang-orang yang mengira diri mereka sangat normal. Ryo bersekolah dengan sangat baik meski dengan keterbatasannya.
“Dia lelaki terakhir yang pergi dari kelurga kami setelah meninggalnya Papa dua tahun yang lalu. Aku sayang kamu, Yo… Aku dan Mama sangat sayang kamu…” Sambungan telepon terputus setelah Jufrin tak mampu lagi menguasai ritme suaranya yang lebur oleh tangis.
Empat gadis di dalam Honda Jazz itu terperangah. Jufrin saudara kembar Ryo?! Bagaimana mungkin? Mereka sama sekali tidak mirip. Tapi Muti akhirnya mengerti, kenapa mata Jufrin mengingatkannya pada mimpi buruknya, pada Ryo. Ya, mereka punya mata yang sama. Karin, Aulia, dan Dinda diam-diam menangis, ada sesal di rongga dada mereka.
Dan Muti, jangan tanya seberapa deras air matanya. Muti tak lagi mampu melihat dengan jelas, sebab air mata menyelimuti matanya. Jauh di lubuh hatinya, rasa nyeri kian menjadi-jadi. Paru-parunya terasa menyempit, dadanya sesak sekali.
“Malam…” Lagi-lagi bisikan itu mampir di telinganya. Muti sadar, nyeri ini akan bercokol lama di hatinya. Ia harus menebus ribuan sepi karena pahitnya rindu yang pernah dirasakan siang untuk malam. _SELESAI_

Sabtu, 30 April 2011

IKLAN





SAYA MENERIMA PESANAN SOUVENIR PERNIKAHAN ATAU SOUVENIR UNTUK ACARA LAIN.
TERSEDIA :
- BROSS CANTIK
- PENCIL CANTIK
- KOMIK
BISA DIPILIH DAN UNTUK INFO LEBIH LANJUT BISA MENGHUBUNGI SAYA DI NOMOR : 087836575110. BISA DIAMBIL SENDIRI ATAUPUN DIANTAR(TAMBAH BIAYA).
HARGA BISA DINEGO....

CONTOH SOUVENIR :
BROSS CANTIK

PENCIL CANTIK

Sabtu, 16 April 2011

HUKUM WANITA MUSLIMAH YANG MENINGGALKAN SHOLAT

HUKUM WANITA MUSLIMAH YANG MENINGGALKAN SHOLAT
OLEH : AYU PHURNAMASARI



Menurut Ijma' ulama, wanita muslimah yang meninggalkan shalat karena ingkar, maka ia telah kafir dan keluar dari islam. Sedang apabila meninggalkan sholat yang masih disertai rasa keimanan dan keyakinan terhadap hukum wajibnya, dimana ia meninggalkannya "karena MALAS" atau "SIBUK", yang menurut syariat tidak tergolong sebagai alasan yang dapat diterima, maka banyak hadist yang mengkufurkannya dan bahkan mewajibkan untuk "MEMBUNUHNYA".

menurut Imam Syafi'i & Iman Ahmad, wanita yang meninggalkan sholat diharuskan bertaubat. apabila tidak bertaubat , maka harus dibunuh!

Abu Ishaq mengatakan :" wanita yang meninggalkan shalat dibunuh karena kekufurannya, seperti halnya wanita murtad, hingga tidak perlu dimandikan, dikafani, maupun dikubur ditengah-tengah kaum muslimin. Hal ini didasarkan pada sabda Rosulullah :"terputusnya antara seorang hamba dengan Rabb-nya adalah perbuatan meninggalkan sholat."

SUMBER : FIQIH WANITA